MP, LABUAN BAJO – Diduga tanah diserobot mafia tanah, masyarakat adat Labuan Bajo melakukan aksi demonstrasi dan membuat tenda di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat (Mabar), Selasa (28/2/2023).
Massa aksi menuntut, BPN Mabar membatalkan sertifikat hak milik yang dikeluarkannya kepada Niko Naput, karena tanda tangan dan nama yang tertera dalam dokumen alas hak sertifikat itu dinilai palsu.
“Bagaimana mungkin nenek saya yang meninggal beberapa tahun yang lalu, hidup kembali dan melakukan tanda tangan dalam surat alas hak pembuatan sertifikat yang dilakukan oleh BPN?,” ujar Mikael Mansen, salah satu orator dalam aksi damai tersebut seperti dikutip www.portaldesa.co
Mikael menilai ada dugaan persekongkolan antara BPN dengan Niko Naput, untuk merekayasa tanda tangan almarhum Ibrahim Hanta, untuk mencaplok lahan seluas 11 hektare dalam pembangun hotel The St. Regis PT. Mahanaim Group, yang telah dilangsungkan acara groundbreaking pada 22 April 2022, yang lalu di Krangan-Labuan Bajo.
“Kami minta BPN Manggarai Barat untuk batalkan semua 6 sertifikat hak milik atas nama Niko Naput. BPN Manggarai Barat memanggil ahli waris Niko Naput dan PT Mahanaim Group sekarang. Guna bersama-sama gelar fakta dan dokumen kepemilikan di kantor BPN,” tegas Mensen dalam orasinya.
Selain itu, Stefanus Herson selaku penanggung jawab demonstrasi damai dalam orasinya mengatakan, BPN Manggarai Barat merupakan sarang mafia tanah di Manggarai Barat, karena telah menerbitkan sertifikat di tanah milik almarhum Ibrahim Hanta dengan nama Niko Naput. Padahal tanah tersebut merupakan penyerahan dari fungsionaris ulayat kedaluan Nggorang Ishaka.
“BPN Manggarai Barat sekarang bersekongkol dengan para mafia tanah untuk merampas tanah milik rakyat, BPN telah menerbitkan sertifikat di tanah milik almarhum Ibrahim Hanta dengan nama Niko Naput,” tutur Stefan.
Saat dikonfirmasi Kepala BPN Manggarai Barat Budi Hartanto dihadapan wartawan menjelaskan, pihaknya sangat menghargai dan menghormati masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya, karena itu semua sudah diatur dalam UU.
“kita sangat menghargai usaha masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak nya melalui aksi demonstrasi, karena itu semua sudah diatur dalam undang-undang” ujarnya.
Ketika disinggung terkait dasar alas hak atas dugaan pengklaiman Niko Naput yang telah menerbitkan sertifikat pada tahun 2019 oleh BPN Manggarai Barat, Budi Hartanto enggan berkomentar.
“Kami tidak bisa menerangkan itu ke publik karena persoalan ini sudah dilaporkan ke ranah hukum oleh keluarga Suwandi,” ujarnya.
Lebih lanjut awak media menggali informasi tentang dugaan pemalsuan tanda tangan dokumen alas hak yang tercantum dalam surat kesepakatan antara Nikalaus Naput dengan Ibrahim Hanta pada 11 Maret 2019 terkait proses pengajuan sertifikat yang dilakukan oleh Niko Naput.
Budi Hartanto belum bisa membuka ke hadapan publik, namun dia berjanji segala dokumen itu akan dibuka di hadapan aparat penegak hukum.
“Akan disampaikan di persidangan ya, saya ngak bisa sampaikan di sini, karena itu nanti jadi bukti-bukti yang harus disampaikan di hadapan pengadilan,” pungkasnya.
Tanah Warisan
Sementara itu, korban mafia tanah, Suwandi Ibrahim membeberkan tanah warisan milik keluarganya yang dirampas pihak perusahaan.
Dia mengaku akan terus berjuang untuk mengambil kembali hak milik orang tuanya almarhum bapak Ibrahim Hanta.
Suwandi Ibrahim lahir di tanah Karangan itu pada tahun 1978, tepat 5 tahun sejak ayahnya mendapatkan tanah tersebut tahun 1973, yang diperolehnya dari penyerahan Ulayat Kedaluan Nggorang.
Pada tahun 2013 diatas tanah itu telah menuai hasil panen pertanian yaitu jagung sebanyak 58 ton, kemudian sebagian jagungnya dijual dan yang lainnya digunakan untuk kebutuhan makanan pangan lokal dihidangkan saat Pelaksanaan Sail Komodo 2013 selama 10 hari.
Selanjutnya, pada tahun 2015, Francis Dohos Dor, S.H, menyarankan kliennya, Suwandi Ibrahim untuk pembuatan sertifikat. Namun bersamaan muncul juga pengajuan sertifikat dari Niko Naput.
‘’Kami terpaksa lakukan sanggahan ke BPN Mabar tahun 2015, karena BPN Mabar ternyata lebih progres mengurus Sertifikat permohonan Niko Naput, padahal kami yang duluan ajukan untuk pembuatan sertifikat,’’ kata Francis Dohos.
Anehnya, imbuhnya, tiba-tiba pada tahun 2020 sudah muncul Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak dan mantu dari Niko Naput.
Pada saat itu, Francis Dohos meminta klarifikasi ke BPN Mabar, akan tetapi jawaban mereka kenapa terbit SHM karena Pihak Niko Naput masukan satu surat Kesepakatan tanggal 19 Maret 2019 yang isinya bahwa Ibrahim Hanta bersepakat dengan mereka untuk menyerahkan tanah itu jadi sertifikat untuk kepentingan a/n Niko Naput.
Berlanjut dari Surat Kesepakatan itu, pihaknya telah melaporkan ke Polda NTT terkait pemalsuan dokumen, karena almarhum Ibrahim Hanta sudah meninggal pada tahun 1986. Akan tetapi tiba-tiba hidup lagi dengan munculnya tanda tangan kesepakatan di tahun 2019.
‘’Kami berdamai pada saat itu karena Surat Kesepakatan 2019 itu dibatalkan, yang kemudian menyebabkan cacat materiil 3 SHM yang terbit diatas tanah milik saya itu,’’ ujar Suwandi Ibrahim melalui kuasa hukumnya yang kerap disapa Frans Dohos.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa “Lokasi tanah warisan kliennya, pada tanggal 22 April 2022 telah di- groundbreaking pembangunan Hotel St. Regis milik Seorang Pengusaha bernama Erwin Kadiman Santosa dan PT. Mahanaim Group berkedudukan hukum di Jalan TB Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan (Jaksel).
Acara groundbreaking tersebut dulunya dihadiri langsung oleh Gubernur Victor Laiskodat dan Bupati Edistasius Endi.
Pada tahun 2020 sebelum groundbreaking tersebut, kata Frans Dohos lagi kliennya sudah memberitahukan kepada Erwin Kadiman Santoso dan PT. Mahanaim Group terkait status tanah itu bermasalah tersebut.
Bahkan, berulang-ulang kali melakukan aksi demonstrasi di BPN Mabar, dan mereka semua tahu terkait persoalan itu akan tetapi mereka bersikukuh untuk tetap melanjutkan transaksi dan telah dibangun Hotel St. Regis.
“Terkait tanah klien kami (Suwandi Ibrahim, Red), pihak saudara Erwin Kadiman Santoso dan PT. Mahanaim Group itu telah terikat DP Rp5 miliar terkait jual beli dengan pihak Niko Naput.
Itukan sama saja dengan pembeli tidak beritikad baik. Sudah tahu ada masalah, malahan dilanjutkan groundbreaking,’’ tukasnya.
Praktek seperti ibaratnya sama dengan membeli kasus, yang sering dilakukan oleh mafia tanah. Apalagi kemudian, beber Frans Dohos, dirinya mendapatkan klaim tanah Niko Naput itu juga seluas 45 hektare.
‘’Semuanya juga bermasalah dengan adanya klaim pemilik lainnya, yang berdekatan dengan kami itu kalo tidak salah saling klaim juga antara Niko Naput dan Syarifudin Uje,” tutup Frans. * (DW Baswir)